Oleh Anton Kayame
Ide usang kembali diluncurkan pemerintahan Indonesia terhadap Papua. Ide
yang lebih pantas disebut sebagai strategi pihak keamanan menambah personil di
Papua. Selain itu ide tersebut bermaksud menambah elit baru di Papua.
Ide pemekaran Papua bukan solusi. Setidaknya pemekaran bagi keluarga
konflik tidak dapat menutup luka mereka. Korban di Nduga maupun Wamena butuh
keadilan bukan pemekaran yang hanya menguntungkan Jakarta.
Setidaknya mari kita renungkan kembali korban konflik di Nduga yang meninggal
karena pemerintah tidak peduli. Mereka kedinginan dan kelaparan serta sakit.
Belum lagi korban peluru yang tak bertuan dan belum ada investigasi nyata.
Lagi-lagi pemerintah lupa melakukan yang satu ini, menghukum mereka yang
melaksanakan operasi di lapangan maupun para pengambil kebijakan aksi militer.
Kasus yang sama pernah terjadi di Aceh. Hingga kini korban perkosaan
maupun keluarga yang kehilangan belum mendapatkan keadilan sebagaimana
mestinya. Dan korban kerusuhan di Wamena bahkan konflik vertikal yang menjalar
konflik horizontal belum dilakukan investigasi yang benar-benar adil.
Pemerintah Indonesia harusnya melaksanakan keadilan sosial bagi rakyat
Nduga dan Wamena bukan sibuk dengan ide pencitraan. Berikan keadilan bagi
keluarga korban konfilk, kembalikan perdamaian antara penduduk asli dan
pendatang yang terjadi karena keteledoran pemerintah.
Setelah aksi-aksi ketidakmanusiaan yang adil dan beradab terjadi, harusnya
pemerintah meminta maaf. Jangan jadikan Papua proyek militer dengan dalih
pemekaran. Bahkan infrastruktur yang mewah sekalipun bukan solusi bagi rakyat
Papua.
Rakyat Papua tak ingin menjadi 'burung dalam sangkar emas'. Mereka tak
butuh itu, mereka ingin menjadi burung yang bebas mencari nafkah tanpa rasa
takut. Mereka ingin damai namun tetap menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Papua.
Sogokan, entah itu jembatan emas, jalan permadani, maupun pemekaran tak
akan berguna apabila keadilan tidak ditegakkan. Rakyat Papua sejatinya manusia
yang selama ini cukup sabar dan bersyukur. Betapa tidak, alam mereka diambil
namun keadilan tak kunjung hadir.
Pemerintah Indonesia harus memiliki empati bukan simpati ala sinetron.
Simpati yang hanya meredam sejenak, simpati yang lebih mirip sogokan agar
konflik redam dan kekuasaan aman dari arus politik. Pencitraan dalam dan luar
negeri.
Pemerintah Indonesia harus ingat 182 pengungsi Nduga yang meninggal
karena kelaparan, korban konflik di Wamena, serta kerusakan gedung-gedung yang
merupakan akumulasi suasana batin rakyat Papua yang belum benar-benar
kemerdekaan.
Pernahkah anda bertanya, andaikata Papua tidak memiliki emas, masihkah
pemerintah Indonesia menjadikan Papua sebagai bagian dari NKRI? apakah
infrstruktur mewah akan tetap dibangun seandainya Papua tidak memiliki SDA yang
menghasilkan jutaan dolar?.
Sejatinya tak sulit menjawab pertanyaan itu. Apa yang terjadi selama di
Papua cukup mendeskripsikan bagaimana pemerintah Indonesia memandang Papua.
Bualan politik pastilah menyatakan Papua bagian penting dari rencana, namun
faktanya?
Sekarang coba kita perhatikan sisi pendidikan di Papua yang merupakan
bagian penting namun terlupakan. Coba temukan sekolah dan universitas yang
sejajar dengan sekolah dan universitas di Jawa. Artinya apa, Papua bukan bagian
penting dalam rencana NKRI kecuali sumber daya alamnya.
Papua tidak butuh janji politik, janji musiman berdasarkan kebutuhan
politik. Papua butuh kenyataan terutama pembangunan sumber daya manusia. Gaya
pemerintah Indonesia terhadap Papua sangat mirip penjajah. SDA diambil namun
SDM tidak diberikan akses pendidikan yang layak.
Apakah sekolah-sekolah di Papua sudah mendapatkan fasilitas memadai
sebagaimana sekolah-sekolah di Pulau Jawa? tidak butuh penelitian kelas atas
untuk menjawabnya, begitulah Papua yang hanya diberikan janji-janji meski emas
mereka berikan kepada Indonesia.
Bayangkan jika Jawa atau pulau lain di Indonesia mengalami nasib yang
sama dengan Papua, apakah tidak tejadi gejolak sebagaimana di Papua? baru
sehari listrik padam saja seolah ratusan nyawa melayang konon lagi terjadi
sebagaimana di Papua
Sebelum ide penambahan pasukan dilaksanakan meski dengan dalih
pemekaran, pemerintahan Jokowi sebaiknya menghukum para pembunuh rakyat Papua.
Jangan sampai para pelaku bebas sebagaimana di Aceh.
Jokowi tak perlu malu meminta maaf atas kegagalan mengatasi konflik di
Papua yang berujung pada konflik horizontal. Meminta maaf pada rakyat Papua dan
pendatang yang menjadi korban lebih utama ketimbang kepada PKI.
Pemekaran solusi panik yang hanya memuaskan segelintir elit, bahkan akan
memecah belah rakyat Papua. Konflik horizontal terbuka dengan adanya pemekaran.
Barangkali hanya ajang berlomba membangun gedung-gedung perkantoran bagi
gubernur dan bupati baru.
Sementara anak-anak dan perempuan Papua dapat apa? jika ingin membela
mereka, menyelamatkan mereka pendekatan manusiawi harus lebih utama ketimbang
pendekatan militeristik.
Sogokan berupa pemekaran hanya cara pemerintah melupakan pelanggaran HAM
yang terjadi di Papua. Bayangkan pengungsi di Nduga sakit dan kelaparan padahal
negeri ini mengklaim Papua bagian dari republik.
Padahal Papua ikut menyumbang mewahnya istana negara dan megahnya
gedung-gedung di Jakarta. Rakyat Papua tidak menuntut lebih, mereka hanya butuh
keadilan sosial bukan pemekaran.
Penulis : Mahasiswa Papua